Diskriminasi Kelompok Marginal dalam Lembaga Pendidikan
Bukan
sandiwara lagi, inilah realita yang ada di lembaga pendidikan Indonesia. Entah
sekedar membiasakan atau memang sudah tradisi. Hingga saat ini terus saja
berlanjut tindakan-tindakan dan kebijakan-kebijakan diskriminasi. Yang pada
dasarnya dilakukan terhadap anak
keluarga kurang mampu atau masyarakat miskin.
Seringnya
anak menjadi tidak bisa sekolah dan melanjutkan pendidikan karena terkendala
biaya. Tidak kurang anak kehilangan masa depannya hanya karena tidak mampu
membayar biaya sekolah yang ditetapkan pemerintah. Namun menghadapi keyakinan
ini seharusnya ada kebijakan yang lebih akurat terkait biaya dan masa depan
anak.
Pada
kenyataanya, setiap manusia membawa potensi masing-masing yang apabila
dibimbing dan dikembangkan oleh lembaga pendidikan bisa membawa pengaruh dan perubahan
yang besar. Namun itu tidak dilihat, tidak pula dipertimbangkan semata-mata
karena tidak mampu melunaskan biaya sekolah.
Banyak
yang berpotensi rendah, tidak memenuhi syarat kelulusan dalam suatu lembaga, namun
berhasil diluluskan karena orang tuanya mampu memberi bayaran yang serupa atau
bahkan lebih dari itu. Akibatnya, pendidikan mayorits dipenuhi oleh orang yang
gengsi bukan yang berprestasi. Berangkat
dari sana, banyak yang belajar
ogah-ogahan dengan pikiran tidak akan ada apa-apa, jika terjadi pun bisa
diseleseikan dengan mata uang saja. Alhasil, tumbuhlah generasi-generasi yang bermental
materi dan pemelihara otak anyar.
Sungguh
ironis bukan??, namun itulah realita. Sebagai putra-putri Indonesia yang
mempunyai hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia. Seharusnya anak-anak
Indonesia mendapat wadah ataupun rumah yang benar-benar bisa memberikan
kenyamanan dan ketenangan dengan adanya pendidikan yang disamaratakan. Mereka
yang terbilang miskin, yang tidak mampu mengeluarkan bayaran terpaksa mengubur
cita-cita hanya karena kurang mendapat perhatian pemerintah. Sering kali
diakatakan bahwa, “bayaran tersebut tidak begitu mahal, mustahil tidak bisa
memenuhi”, iya, murah dan kecil bagi yang mampu dan yang biasa mempunyai uang
lebih dari itu. Namun tidak bagi yang
sebaliknya, ada yang jangankan untuk mengeluarkan uang untuk bayaran sekolah,
untuk makan sehari-hari pun terbilang susah.
Lalu
untuk penomena semacam ini, warga Indonesia harus mengadu dan meminta bantuan
kepada siapa?? Sementara hak dan kewajiban mereka ada di negara mereka sendiri.
Mustahil untuk bisa sekolah di negeri sendiri harus meminta bantuan kepada
negara lain. Sedangkan Indonesia terkenal kaya, subur dan makmur. Tidak mampu kah
dan tidak bersedia kah Indonsia membantu dan mengayomi warganya sendiri??
Diskriminasi
ini bukan halusinasi, melainkan sudah menjadi momok dalam jiwa anak negeri.
Bersaing sehat dengan potensi sudah jarang terjadi, disebabkan pendidikan hanya
untuk mendapat materi. Dikatakan pada mereka sebagai rakyat jelata, “bisa saja
kalian sekolah sambil bekerja, seperti menjadi asisten rumah tangga dan kerja
paruh waktu lainnya”. Wow, haruskah?? harukah anak negeri menjadi babu di negeri
sendiri untuk bisa mendapatkan hak dan kewajiban sebagai penerus generasi??. Dan
benarkah hanya pekerjaan yang demikian yang pantas untuk anak negeri, sementara
pekerjaan yang bergengsi hanya bisa diampu oleh yang dari luar negeri?? Atau
hanya bisa dikerjakan oleh yang menurut kalian berprestasi??
Padahal
tidak sebenarnya, mereka juga punya potensi. Hanya saja kalian belum pernah
melihatnya dan mereka tidak mendapat wadah untuk mengembangkannya. Cobalah
untuk tidak mendiskriminasi, berikan peluang dan kesempatan kepada mereka.
Berikan peluang dan kesempatan untuk meraih prestasi, karena seharusnya negeri
tidak menjadi sekejam ini.
Penderitaan
yang hanya bisa dirasakan oleh yang merasakan. Yang manyebabkan cita-cita hanya
berujung asa. Untuk bergerak dan
bertindak membutuhkan banyak pertimbangan, sebab suara dan aspirasi sering
tidak didengarkan.
Beginilah
derita di negeri sendiri, tenggelam dalam diskriminasi sudah menjadi tradisi. Yang
berpotensi dianggap tidak berfungsi bila sudah di salib oleh yang punya materi.
Semua ini perlu kebijakan afirmasi untuk kelompok marginal atas diskriminasi pendidikan
yang dialami. Kebijakan-kebijakan pemerintah sangat diperlukan agar supaya anak
bangsa bisa menggapai cita-cita dan
mewujudkan mimpi. Sebab perbedaan ini menjadi penjara bagi perkembangan potensi
dan prestasi mereka.
Tidak
bisakah menyadari pentingnya pendidikan untuk generasi?? bisakah tidak
menganggap pendidikan sebagai ladang materi ??, akan bagaimana nasib negeri ini nanti jika pendidikan terus-menerus
melahirkan generesi tanpa potensi??. Sementara hidup bukan untuk menebar
gengsi, melainkan ditempa dan diciptakan yang Maha Kuasa agar bermanfaat untuk
agama dan bangsa. Karena hakekatnya barometer potensi bukanlah gengsi,
melainkan nilai yang bermakna di mata dunia serta Sang Pencipta.
Komentar
Posting Komentar